Pengertian Etika, Moral dan Profesi. Kata etika berasal dari bahasa Yunani, ethos atau ta etha yang berarti tempat tinggal, padang rumput, kebiasaan atau adat istiadat. Oleh filsuf Yunani, Aristoteles, etika digunakan untuk menunjukkan filsafat moral yang menjelaskan fakta moral tentang nilai dan norma moral, perintah, tindakan kebajikan dan suara hati. Kata yang agak dekat dengan pengertian etika adalah moral. Kata moral berasal dari bahasa Latin yaitu mos atau mores yang berarti adat istiadat, kebiasaan, kelakuan, tabiat, watak, akhlak dan cara hidup. Secara etimologi, kata etika (bahasa Yunani) sama dengan arti kata moral (bahasa Latin), yaitu adat istiadat mengenai baik-buruk suatu perbuatan. Namun demikian moral tidak sama dengan etika. Kata moral lebih mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia, menuntun manusia bagaimana seharusnya ia hidup atau apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Sedangkan etika adalah ilmu, yakni pemikiran rasional, kritis dan sistematis tentang ajaran-ajaran moral. Etika menuntun seseorang untuk memahami mengapa atau atas dasar apa ia harus mengikuti ajaran moral tertentu. Dalam artian ini, etika dapat disebut filsafat moral. Yang dimaksud etika profesi adalah norma-norma, syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi oleh sekelompok orang yang disebut kalangan profesional. Lalu siapakah yang disebut profesional itu? Orang yang menyandang suatu profesi tertentu disebut seorang profesional. Selanjutnya Oemar Seno Adji mengatakan bahwa peraturan-peraturan mengenai profesi pada umumnya mengatur hak-hak yang fundamental dan mempunyai peraturan-peraturan mengenai tingkah laku atau perbuatan dalam melaksanakan profesinya yang dalam banyak hal disalurkan melalui kode etik.
Sedangkan yang dimaksud dengan profesi adalah suatu moral community (masyarakat moral) yang memiliki cita-cita dan nilai bersama. Mereka membentuk suatu profesi yang disatukan karena latar belakang pendidikan yang sama dan bersama-sama memiliki keahlian yang tertutup bagi orang lain.
II. Masalah Etika Profesi Teknologi Informasi di Indonesia
Selama ini kalau kita berbicara tentang muamalah, terutama ekonomi, kita akan berbicara tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh. Hal ini memang merupakan prinsip dasar dari muamalah itu sendiri, yang menyatakan, Perhatikan apa yang dilarang, diluar itu maka boleh dikerjakan. Tetapi pertanyaan kemudian mengemuka, seperti apakah ekonomi dalam sudut pandang Islam itu sendiri? Bagaimana filosofi dan kerangkanya? Dan bagaimanakah ekonomi Islam yang ideal itu?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka sebenarnya kita perlu melihat bagaimanakah metodologi dari ekonomi Islam itu sendiri. Muhammad Anas Zarqa, menjelaskan bahwa ekonomi Islam itu terdiri dari 3 kerangka metodologi.
Pertama adalah presumptions and ideas, atau yang disebut dengan ide dan prinsip dasar dari ekonomi Islam. Ide ini bersumber dari Al Qur?an, Sunnah, dan Fiqih Al Maqasid. Ide ini nantinya harus dapat diturunkan menjadi pendekatan yang ilmiah dalam membangun kerangka berpikir dari ekonomi Islam itu sendiri.
Kedua adalah nature of value judgement, atau pendekatan nilai dalam Islam terhadap kondisi ekonomi yang terjadi. Pendekatan ini berkaitan dengan konsep utilitas dalam Islam.
Terakhir, yang disebut dengan positive part of economics science. Bagian ini menjelaskan tentang realita ekonomi dan bagaimana konsep Islam bisa diturunkan dalam kondisi nyata dan riil. Melalui tiga pendekatan metodologi tersebut, maka ekonomi Islam dibangun.
Ahli ekonomi Islam lainnya, Masudul Alam Choudhury, menjelaskan bahwa pendekatan ekonomi Islam itu perlu menggunakan shuratic process, atau pendekatan syura. Syura itu bukan demokrasi. Shuratic process adalah metodologi individual digantikan oleh sebuah konsensus para ahli dan pelaku pasar dalam menciptakan keseimbangan ekonomi dan perilaku pasar. Individualisme yang merupakan ide dasar ekonomi konvensional tidak dapat lagi bertahan, karena tidak mengindahkan adanya distribusi yang tepat, sehingga terciptalah sebuah jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin. Pertanyaan kemudian muncul, apakah konsep Islam dalam ekonomi bisa diterapkan di suatu negara, misalnya di negara kita? Memang baru-baru ini muncul ide untuk menciptakan dual economic system di negara kita, dimana ekonomi konvensional diterapkan bersamaan dengan ekonomi Islam. Tapi mungkinkah Islam bisa diterapkan dalam kondisi ekonomi yang nyata? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, Umar Chapra menjelaskan bahwa terdapat dua aliran dalam ekonomi, yaitu aliran normatif dan positif. Aliran normatif itu selalu memandang sesuatu permasalahan dari yang seharusnya terjadi, sehingga terkesan idealis dan perfeksionis. Sedangkan aliran positif memandang permasalahan dari realita dan fakta yang terjadi. Aliran positif ini pun kemudian menghasilkan perilaku manusia yang rasional. Perilaku yang selalu melihat masalah ekonomi dari sudut pandang rasio dan nalarnya. Kedua aliran ini merupakan ekstrim diantara dua kutub yang berbeda.
Lalu apa hubungannya kedua aliran tersebut dengan pelaksanaan ekonomi Islam? Ternyata hubungannya adalah akan selalu ada orang-orang yang mempunyai pikiran dan ide yang bersumber dari dua aliran tersebut. Jadi atau tidak jadi ekonomi Islam akan diterapkan, akan ada yang menentang dan mendukungnya. Oleh karena itu sebagai orang yang optimis, maka penulis akan menyatakan ?Ya?, Islam dapat diterapkan dalam sebuah sistem ekonomi. Tetapi optimisme ini akan dapat terwujud manakala etika dan perilaku pasar sudah berubah. Dalam Islam etika berperan penting dalam menciptakan utilitas atau kepuasan. Konsep Islam menyatakan bahwa kepuasan optimal akan tercipta manakala pihak lain sudah mencapai kepuasan atau hasil optimal yang diinginkan, yang juga diikuti dengan kepuasan yang dialami oleh kita. Islam sebenarnya memandang penting adanya distribusi, kemudian lahirlah zakat sebagai bentuk dari distribusi itu sendiri.
Maka, sesungguhnya kerangka dasar dari ekonomi Islam didasari oleh tiga metodolodi dari Muhammad Anas Zarqa, yang kemudian dikombinasikan dengan efektivitas distribusi zakat serta penerapan konsep shuratic
process (konsensus bersama) dalam setiap pelaksanaannya. Dari kerangka tersebut, insyaAllah ekonomi Islam dapat diterapkan dalam kehidupan nyata.
Dan semua itu harus dibungkus oleh etika dari para pelakunya serta peningkatan kualitas sumber daya manusianya. Utilitas yang optimal akan lahir manakala distribusi dan adanya etika yang menjadi acuan dalam berperilaku ekonomi. Oleh karena itu semangat untuk memiliki etika dan perilaku yang ihsan kini harus dikampanyekan kepada seluruh sumber daya insani dari ekonomi Islam. Agar ekonomi Islam dapat benar-benar diterapkan dalam kehidupan nyata, yang akan menciptakan keadilan sosial, kemandirian, dan kesejahteraan masyarakatnya.
III. Pelaksanaan Etika Profesi Teknologi Informasi di Indonesia
Penghinaan Untuk Wartawan
Jaman sudah berubah. Namun masih banyak wartawan yang masih konservatif, melarang wartawan lain masuk pos-nya. Sekedar arogan atau takut kehilangan lahan.
Di akhir masa jabatannya, Pangdam Jaya Mayjen TNI Djadja Suparman memberikan sumbangan sebanyak 100 juta rupiah kepada wartawan peliput Kodam Jaya. Djadja berharap, dana tersebut dimanfaatkan untuk membentuk koperasi wartawan Kodam.
Djadja memberikan dana tersebut secara simbolis kepada Koordinator Wartawan Kodam Jaya, Ballian Siregar (Pos Kota), saat silahturahmi menjelang serah terima jabatan Pangdam. Ballian (Ian) mengaku, bantuan tersebut tidak akan membuat wartawan di lingkungan Kodam kehilangan sikap kritis. "Walaupun dikasih 100 juta rupiah," katanya, wartawan tetap akan independen dan tidak mau berada di bawah kontrol (terkooptasi) Kodam. Rencananya, lanjut Ian, dana akan dimanfaatkan untuk mendirikan Wartel dan Warung Sembako.
Pemberian "sumbangan" Pangdam tersebut membuat gerah sejumlah jurnalis. Pasalnya, masih saja dalam era reformasi seperti ini -dimana masyarakat sedang getol menginginkan clean government / clean governance, sekelompok wartawan masih mau menerima bantuan dari lembaga yang nota bene adalah medan pemberitaan. "Lepas dari ikhlas atau atas permintaan, sudah sepatutnya sumbangan dari Pangdam itu ditolak. Ini masalah etika moral seorang wartawan. Apalagi, darimana sih Pangdam dapat uang sebanyak itu? Bukankah Kodam bukan lembaga yang menghasilan dana?" ujar wartawan sebuah media. Wartawan amplop seperti ini memang sudah menjadi rahasia umum dalam masa pemerintahan Soeharto. Dari presiden hingga pak RT telah mengajarkan untuk memberi "imbalan" pada wartawan yang akan atau telah memberitakan tentang dirinya. Dalam banyak konperensi pers, betapa hausnya mereka -para wartawan bodrex itu- menunggu petugas pembagi amplop. Tapi hal itu bukanlah semata kesalahan si "wartawan". Sebab organisasi profesi wartawan sendiri (PWI) telah jelas-jelas melegalkan soal angpauw ini, lewat statemen bosnya, Sofyan Lubis. Walaupun, masih banyak penerbitan pers (a.l. kelompok Kompas Gramedia dan Tempo) yang dengan eksplisit melarang keras para wartawannya menerima amplop, untuk menjaga kemandirian.
Keberadaan wartawan amplop ini di jaman Soeharto bahkan telah dianggap masyarakat sebagai tindakan yang cukup meresahkan. Banyak orang yang hanya berbekal kartu PWI mendatangi perusahaan atau instansi, pejabat bahkan perorangan untuk mencari uang. Tidak jarang pula sejumlah wartawan itu mengorganisir diri bak kelompok gangster yang suka mengkapling wilayah-wilayah tertentu. Semua kantor departemen punya geng tersendiri.
Ingat kasus wartawan yang sering mangkal di Departemen Keuangan? Mereka punya lembaga sendiri sebagai partner departemen tersebut dalam membuat training maupun seminar-seminar. Ceritanya, tahun 1983, Bambang Wiwoho (Pemimpin Umum Majalah Panji Masyarakat), mendirikan Yayasan Bina Pembangunan (YBP). Yayasan ini dibentuk untuk mengerjakan proyek Departemen Keuangan untuk memasyarakatkan Undang-Undang Pajak baru, yang akan berlaku 1 Januari 1984. Kontrak pertama ditandatangani dengan Menteri Keuangan waktu itu, Radius Prawiro. Proyek yang dikerjakan YBP di mana Wiwoho menjadi ketua umumnya, adalah melakukan konsultasi dan penyuluhan pajak, konsultan kegiatan penyiapan tenaga penyuluh dan peningkatan ketrampilan tenaga penyuluh Direktorat Jendral Pajak, khususnya dalam teknis komunikasi massa, melaksanakan kegiatan pembangunan citra perpajakan dan evaluasi pelaksanaan kegiatan penyuluhan. Kalau kita dulu pernah mendengar slogan: "Orang Bijak Taat Pajak", "Pembangunan Jalan Ini Bersalah dari Pajak Anda", itu salah satu proyek YBP. Nilai kontrak itu cukup besar, rata-rata mencapai Rp3,5 hingga Rp4,5 miliar setiap tahunnya.
Mungkin, karena menganggap wilayah kerjanya juga sebagai lahan basahanya itulah tindakan para wartawan yang ngepos di suatu tempat itu sering tidak berkenan atas kehadiran wartawan lain yang datang ke wilayah tersebut.
Termasuk pelarangan terhadap sejumlah wartawan yang akan meliput kegiatan di istana negara. "Wartawan Istana ini mengatakan pada saya bahwa saya seharusnya mematuhi tata tertib buat meliput di Istana. Ia mengatakan, sebelum bisa meliput di Istana saya seharusnya lolos litsus (penelitian khusus) serta screening dari badan intelijen seperti BIA atau BAIS. Kemudian setelah itu, saya harus menunggu untuk mendapatkan kartu identitas wartawan Istana berwarna hijau," kata Ade Wahyudi, wartawan Kantor Berita Radio 68H Jakarta salah satu
wartawan yang ditolak masuk istana oleh Lukman (Surabaya Post) sebagai
koordinator wartawan Istana. Ini menjadi aneh, sebab dari sekretariat negara sendiri tidak pernah mengeluarkan larangan. Sebab sebelumnya, meski tanpa birokrasi yang berbelit Ade sudah beberapa kali diperbolehkan meliput ke Istana oleh bagian Dokumentasi dan Media Massa Setneg. Usut punya usut, ternyata para wartawan istana itu lah yang mengancam bagian dokumentasi dan media massa Setneg untuk melarang wartawan lain yang akan meliput di istana, selain mereka. Pelarangan ini berlanjut hingga sidang-sidang kabinet Gus Dur.
Padahal, ketika wartawan Indonesia meliput kegiatan Presiden Abdurrahman Wahid masuk ke kantor Clinton di Gedung Putih, pihak Gedung Putih merasa welcome saja tanpa men-screnning apa lagi melakukan litsus
"keterpengaruhan". Karena mereka hanya memprasyaratkan wartawan yang akan masuk ke Gedung Putih tak lain hanya berbekal surat keterangan dari
kantornya masing-masing. Ini pelajaran sekaligus penghinaan buat wartawan
Indonesia.
Pengertian Etika, Moral dan Profesi. Kata etika berasal dari bahasa Yunani, ethos atau ta etha yang berarti tempat tinggal, padang rumput, kebiasaan atau adat istiadat. Oleh filsuf Yunani, Aristoteles, etika digunakan untuk menunjukkan filsafat moral yang menjelaskan fakta moral tentang nilai dan norma moral, perintah, tindakan kebajikan dan suara hati. Kata yang agak dekat dengan pengertian etika adalah moral. Kata moral berasal dari bahasa Latin yaitu mos atau mores yang berarti adat istiadat, kebiasaan, kelakuan, tabiat, watak, akhlak dan cara hidup. Secara etimologi, kata etika (bahasa Yunani) sama dengan arti kata moral (bahasa Latin), yaitu adat istiadat mengenai baik-buruk suatu perbuatan. Namun demikian moral tidak sama dengan etika. Kata moral lebih mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia, menuntun manusia bagaimana seharusnya ia hidup atau apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Sedangkan etika adalah ilmu, yakni pemikiran rasional, kritis dan sistematis tentang ajaran-ajaran moral. Etika menuntun seseorang untuk memahami mengapa atau atas dasar apa ia harus mengikuti ajaran moral tertentu. Dalam artian ini, etika dapat disebut filsafat moral. Yang dimaksud etika profesi adalah norma-norma, syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi oleh sekelompok orang yang disebut kalangan profesional. Lalu siapakah yang disebut profesional itu? Orang yang menyandang suatu profesi tertentu disebut seorang profesional. Selanjutnya Oemar Seno Adji mengatakan bahwa peraturan-peraturan mengenai profesi pada umumnya mengatur hak-hak yang fundamental dan mempunyai peraturan-peraturan mengenai tingkah laku atau perbuatan dalam melaksanakan profesinya yang dalam banyak hal disalurkan melalui kode etik.
Sedangkan yang dimaksud dengan profesi adalah suatu moral community (masyarakat moral) yang memiliki cita-cita dan nilai bersama. Mereka membentuk suatu profesi yang disatukan karena latar belakang pendidikan yang sama dan bersama-sama memiliki keahlian yang tertutup bagi orang lain.
II. Masalah Etika Profesi Teknologi Informasi di Indonesia
Selama ini kalau kita berbicara tentang muamalah, terutama ekonomi, kita akan berbicara tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh. Hal ini memang merupakan prinsip dasar dari muamalah itu sendiri, yang menyatakan, Perhatikan apa yang dilarang, diluar itu maka boleh dikerjakan. Tetapi pertanyaan kemudian mengemuka, seperti apakah ekonomi dalam sudut pandang Islam itu sendiri? Bagaimana filosofi dan kerangkanya? Dan bagaimanakah ekonomi Islam yang ideal itu?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka sebenarnya kita perlu melihat bagaimanakah metodologi dari ekonomi Islam itu sendiri. Muhammad Anas Zarqa, menjelaskan bahwa ekonomi Islam itu terdiri dari 3 kerangka metodologi.
Pertama adalah presumptions and ideas, atau yang disebut dengan ide dan prinsip dasar dari ekonomi Islam. Ide ini bersumber dari Al Qur?an, Sunnah, dan Fiqih Al Maqasid. Ide ini nantinya harus dapat diturunkan menjadi pendekatan yang ilmiah dalam membangun kerangka berpikir dari ekonomi Islam itu sendiri.
Kedua adalah nature of value judgement, atau pendekatan nilai dalam Islam terhadap kondisi ekonomi yang terjadi. Pendekatan ini berkaitan dengan konsep utilitas dalam Islam.
Terakhir, yang disebut dengan positive part of economics science. Bagian ini menjelaskan tentang realita ekonomi dan bagaimana konsep Islam bisa diturunkan dalam kondisi nyata dan riil. Melalui tiga pendekatan metodologi tersebut, maka ekonomi Islam dibangun.
Ahli ekonomi Islam lainnya, Masudul Alam Choudhury, menjelaskan bahwa pendekatan ekonomi Islam itu perlu menggunakan shuratic process, atau pendekatan syura. Syura itu bukan demokrasi. Shuratic process adalah metodologi individual digantikan oleh sebuah konsensus para ahli dan pelaku pasar dalam menciptakan keseimbangan ekonomi dan perilaku pasar. Individualisme yang merupakan ide dasar ekonomi konvensional tidak dapat lagi bertahan, karena tidak mengindahkan adanya distribusi yang tepat, sehingga terciptalah sebuah jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin. Pertanyaan kemudian muncul, apakah konsep Islam dalam ekonomi bisa diterapkan di suatu negara, misalnya di negara kita? Memang baru-baru ini muncul ide untuk menciptakan dual economic system di negara kita, dimana ekonomi konvensional diterapkan bersamaan dengan ekonomi Islam. Tapi mungkinkah Islam bisa diterapkan dalam kondisi ekonomi yang nyata? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, Umar Chapra menjelaskan bahwa terdapat dua aliran dalam ekonomi, yaitu aliran normatif dan positif. Aliran normatif itu selalu memandang sesuatu permasalahan dari yang seharusnya terjadi, sehingga terkesan idealis dan perfeksionis. Sedangkan aliran positif memandang permasalahan dari realita dan fakta yang terjadi. Aliran positif ini pun kemudian menghasilkan perilaku manusia yang rasional. Perilaku yang selalu melihat masalah ekonomi dari sudut pandang rasio dan nalarnya. Kedua aliran ini merupakan ekstrim diantara dua kutub yang berbeda.
Lalu apa hubungannya kedua aliran tersebut dengan pelaksanaan ekonomi Islam? Ternyata hubungannya adalah akan selalu ada orang-orang yang mempunyai pikiran dan ide yang bersumber dari dua aliran tersebut. Jadi atau tidak jadi ekonomi Islam akan diterapkan, akan ada yang menentang dan mendukungnya. Oleh karena itu sebagai orang yang optimis, maka penulis akan menyatakan ?Ya?, Islam dapat diterapkan dalam sebuah sistem ekonomi. Tetapi optimisme ini akan dapat terwujud manakala etika dan perilaku pasar sudah berubah. Dalam Islam etika berperan penting dalam menciptakan utilitas atau kepuasan. Konsep Islam menyatakan bahwa kepuasan optimal akan tercipta manakala pihak lain sudah mencapai kepuasan atau hasil optimal yang diinginkan, yang juga diikuti dengan kepuasan yang dialami oleh kita. Islam sebenarnya memandang penting adanya distribusi, kemudian lahirlah zakat sebagai bentuk dari distribusi itu sendiri.
Maka, sesungguhnya kerangka dasar dari ekonomi Islam didasari oleh tiga metodolodi dari Muhammad Anas Zarqa, yang kemudian dikombinasikan dengan efektivitas distribusi zakat serta penerapan konsep shuratic
process (konsensus bersama) dalam setiap pelaksanaannya. Dari kerangka tersebut, insyaAllah ekonomi Islam dapat diterapkan dalam kehidupan nyata.
Dan semua itu harus dibungkus oleh etika dari para pelakunya serta peningkatan kualitas sumber daya manusianya. Utilitas yang optimal akan lahir manakala distribusi dan adanya etika yang menjadi acuan dalam berperilaku ekonomi. Oleh karena itu semangat untuk memiliki etika dan perilaku yang ihsan kini harus dikampanyekan kepada seluruh sumber daya insani dari ekonomi Islam. Agar ekonomi Islam dapat benar-benar diterapkan dalam kehidupan nyata, yang akan menciptakan keadilan sosial, kemandirian, dan kesejahteraan masyarakatnya.
III. Pelaksanaan Etika Profesi Teknologi Informasi di Indonesia
Penghinaan Untuk Wartawan
Jaman sudah berubah. Namun masih banyak wartawan yang masih konservatif, melarang wartawan lain masuk pos-nya. Sekedar arogan atau takut kehilangan lahan.
Di akhir masa jabatannya, Pangdam Jaya Mayjen TNI Djadja Suparman memberikan sumbangan sebanyak 100 juta rupiah kepada wartawan peliput Kodam Jaya. Djadja berharap, dana tersebut dimanfaatkan untuk membentuk koperasi wartawan Kodam.
Djadja memberikan dana tersebut secara simbolis kepada Koordinator Wartawan Kodam Jaya, Ballian Siregar (Pos Kota), saat silahturahmi menjelang serah terima jabatan Pangdam. Ballian (Ian) mengaku, bantuan tersebut tidak akan membuat wartawan di lingkungan Kodam kehilangan sikap kritis. "Walaupun dikasih 100 juta rupiah," katanya, wartawan tetap akan independen dan tidak mau berada di bawah kontrol (terkooptasi) Kodam. Rencananya, lanjut Ian, dana akan dimanfaatkan untuk mendirikan Wartel dan Warung Sembako.
Pemberian "sumbangan" Pangdam tersebut membuat gerah sejumlah jurnalis. Pasalnya, masih saja dalam era reformasi seperti ini -dimana masyarakat sedang getol menginginkan clean government / clean governance, sekelompok wartawan masih mau menerima bantuan dari lembaga yang nota bene adalah medan pemberitaan. "Lepas dari ikhlas atau atas permintaan, sudah sepatutnya sumbangan dari Pangdam itu ditolak. Ini masalah etika moral seorang wartawan. Apalagi, darimana sih Pangdam dapat uang sebanyak itu? Bukankah Kodam bukan lembaga yang menghasilan dana?" ujar wartawan sebuah media. Wartawan amplop seperti ini memang sudah menjadi rahasia umum dalam masa pemerintahan Soeharto. Dari presiden hingga pak RT telah mengajarkan untuk memberi "imbalan" pada wartawan yang akan atau telah memberitakan tentang dirinya. Dalam banyak konperensi pers, betapa hausnya mereka -para wartawan bodrex itu- menunggu petugas pembagi amplop. Tapi hal itu bukanlah semata kesalahan si "wartawan". Sebab organisasi profesi wartawan sendiri (PWI) telah jelas-jelas melegalkan soal angpauw ini, lewat statemen bosnya, Sofyan Lubis. Walaupun, masih banyak penerbitan pers (a.l. kelompok Kompas Gramedia dan Tempo) yang dengan eksplisit melarang keras para wartawannya menerima amplop, untuk menjaga kemandirian.
Keberadaan wartawan amplop ini di jaman Soeharto bahkan telah dianggap masyarakat sebagai tindakan yang cukup meresahkan. Banyak orang yang hanya berbekal kartu PWI mendatangi perusahaan atau instansi, pejabat bahkan perorangan untuk mencari uang. Tidak jarang pula sejumlah wartawan itu mengorganisir diri bak kelompok gangster yang suka mengkapling wilayah-wilayah tertentu. Semua kantor departemen punya geng tersendiri.
Ingat kasus wartawan yang sering mangkal di Departemen Keuangan? Mereka punya lembaga sendiri sebagai partner departemen tersebut dalam membuat training maupun seminar-seminar. Ceritanya, tahun 1983, Bambang Wiwoho (Pemimpin Umum Majalah Panji Masyarakat), mendirikan Yayasan Bina Pembangunan (YBP). Yayasan ini dibentuk untuk mengerjakan proyek Departemen Keuangan untuk memasyarakatkan Undang-Undang Pajak baru, yang akan berlaku 1 Januari 1984. Kontrak pertama ditandatangani dengan Menteri Keuangan waktu itu, Radius Prawiro. Proyek yang dikerjakan YBP di mana Wiwoho menjadi ketua umumnya, adalah melakukan konsultasi dan penyuluhan pajak, konsultan kegiatan penyiapan tenaga penyuluh dan peningkatan ketrampilan tenaga penyuluh Direktorat Jendral Pajak, khususnya dalam teknis komunikasi massa, melaksanakan kegiatan pembangunan citra perpajakan dan evaluasi pelaksanaan kegiatan penyuluhan. Kalau kita dulu pernah mendengar slogan: "Orang Bijak Taat Pajak", "Pembangunan Jalan Ini Bersalah dari Pajak Anda", itu salah satu proyek YBP. Nilai kontrak itu cukup besar, rata-rata mencapai Rp3,5 hingga Rp4,5 miliar setiap tahunnya.
Mungkin, karena menganggap wilayah kerjanya juga sebagai lahan basahanya itulah tindakan para wartawan yang ngepos di suatu tempat itu sering tidak berkenan atas kehadiran wartawan lain yang datang ke wilayah tersebut.
Termasuk pelarangan terhadap sejumlah wartawan yang akan meliput kegiatan di istana negara. "Wartawan Istana ini mengatakan pada saya bahwa saya seharusnya mematuhi tata tertib buat meliput di Istana. Ia mengatakan, sebelum bisa meliput di Istana saya seharusnya lolos litsus (penelitian khusus) serta screening dari badan intelijen seperti BIA atau BAIS. Kemudian setelah itu, saya harus menunggu untuk mendapatkan kartu identitas wartawan Istana berwarna hijau," kata Ade Wahyudi, wartawan Kantor Berita Radio 68H Jakarta salah satu
wartawan yang ditolak masuk istana oleh Lukman (Surabaya Post) sebagai
koordinator wartawan Istana. Ini menjadi aneh, sebab dari sekretariat negara sendiri tidak pernah mengeluarkan larangan. Sebab sebelumnya, meski tanpa birokrasi yang berbelit Ade sudah beberapa kali diperbolehkan meliput ke Istana oleh bagian Dokumentasi dan Media Massa Setneg. Usut punya usut, ternyata para wartawan istana itu lah yang mengancam bagian dokumentasi dan media massa Setneg untuk melarang wartawan lain yang akan meliput di istana, selain mereka. Pelarangan ini berlanjut hingga sidang-sidang kabinet Gus Dur.
Padahal, ketika wartawan Indonesia meliput kegiatan Presiden Abdurrahman Wahid masuk ke kantor Clinton di Gedung Putih, pihak Gedung Putih merasa welcome saja tanpa men-screnning apa lagi melakukan litsus
"keterpengaruhan". Karena mereka hanya memprasyaratkan wartawan yang akan masuk ke Gedung Putih tak lain hanya berbekal surat keterangan dari
kantornya masing-masing. Ini pelajaran sekaligus penghinaan buat wartawan
Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar